Esensi mengajar dan mengases (sumber: http://www.assessment.uconn.edu/why/index.html
)
Dewasa ini, tugas seorang guru
tidak hanya mengajar (transfer of
knowledge) dan mendidik (transfer of
value) yang baik, namun guru juga harus terampil dalam hal mengases. Masalahnya
adalah seringkali orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, asesmen, pengukuran
(measurement), asesmen, dan tes.
Padahal keempat hal ini memilik pengertian yang berbeda. Evaluasi merupakan
kegiatan identifikasi untuk melihat ketercapaian/keberhargaan/keefektifan suatu
program. Evaluasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan informasi dari hasil
asesmen, pertimbangan dan keputusan nilai (value
judgement). Makin banyak informasi yang kita ambil dari hasil asesmen, maka
kita akan lebih fair dalam mengambil
keputusan. Asesmen merupakan penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam
perangkat/alat untuk memperoleh informasi proses dan hasil belajar. Hal krusial
dalam mengases, diantaranya: 1) menekankan pada proses dan hasil belajar, 2)
dilaksanakan selama pembelajaran, 3) berpihak pada yang diases untuk
mengembangkan potensi, dan 4) terkait dengan pencapaian kurikulum. Pengukuran (measurement) lebih ditujukan untuk
mendapat informasi secara kuantitatif mengenai karakteristik sesuatu/seseorang
menggunakan lembar observasi atau skala penilaian dengan mengacu pada proses
dan skor yang diperoleh. Tes adalah
salah satu perangkat/alat berisikan serangkaian pertanyaan standar/baku yang
digunakan untuk menguji keberhasilan siswa dalam pembelajaran.
Hubungan antara evaluasi, asesmen, pengukuran, dan tes
dapat ditunjukkan dalam diagram berikut:
Interelasi antara Evaluasi, Asesmen, Pengukuran, dan
Tes
Makin besar irisan antara evaluasi dan asesmen
menunjukkan bahwa data asesmen sudah dikenai judgement, sehingga data-data
asesmen dapat digunakan sebagai hasil evaluasi.
Ketepatan prosedur dan kualitas
alat ukur menentukan kualitas informasi yang diperoleh. Untuk itu kita perlu
berhati-hati dalam menentukan, memilih, dan menyusun alat ukur untuk
mengumpulkan sejumlah informasi yang diperlukan dalam ranngka mengambil
keputusan. Penggunaan perangkat tes memberikan cara baru dalam mengases dan
mengevaluasi pemahaman ataupun penguasaan konsep siswa.
Dalam sebuah Koferensi Asosiasi
Psikolog Amerika pada awal tahun 1950-an, Bloom dan kawan-kawannya mengemukakan
evaluasi hasil belajar yang mengungkap bahwa kebanyakan butir-butir soal yang
digunakan guru hanya meminta siswa untuk menggunakan kemampuan hafalan mereka
(Utari, 2013). Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill,
dan Krathwohl mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Bloom’s Taxonomy. Kerangka ini merupakan
struktur hierarki yang mengidentifikasikan skills
mulai dari tingkat yang terendah hingga yang tertinggi. Dalam kerangka
konsep ini, tujuan pendidikan dibagi dalam tiga domain utama, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif mengurutkan kemampuan berpikir sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, diantaranya: (1) Pengetahuan (Knowledge), (2) Pemahaman (Comprehension), (3) Aplikasi (Application),
(4) Analisis (Analysis), (5) Sintesis
(Synthesis), dan (6) Evaluasi (Evaluation).
Menurut Bloom, hafalan sebenarnya merupakan level terendah dalam hierarki
kemampuan berpikir (thinking behaviors).
Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang dapat dicapai siswa dan
kemampuan berpikir ini harus dapat diukur sejauh mana ketercapaiannya
Sepanjang tahun 1990-an, seorang murid Bloom, Lorin
Andreson, dan beberapa para ahli psikologi alirasn kognitivisme berusaha memperbaiki
taksonomi Bloom agar relevan dengan kebutuhan siswa dan guru pada abad 21 (21’st century skills). Taksonomi yang
baru akan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan psikologis
kognisi, penelitian pendidikan, dan spesialisasi pengujian dan asesmen (Anderson
& Krathwohl, 2001). Pada 2001 mereka menuntaskan rancangan mereka yang
memuat beberapa perubahan signifikan. Diantaranya: (1) Perubahan terjadi pada
perubahan kata kunci setiap level kognitif dari kata benda menjadi kata kerja,
(2) Sintesis yang sebelumnya berada pada level 5 pada taksonomi Bloom lama dinaikkan menjadi
level 6 dengan perubahan kata benda (noun)
menjadi kata kerja (verb)à Mencipta, (3) Evaluasi
yang sebelumnya berada pada level 6 pada taksonomi Bloom lama diturunkan
menjadi level 5 dengan perubahan kata benda (noun) menjadi kata kerja (verb) Mengevaluasi.
Perubahan terminilogi taksonomi
Umumnya rumusan tujuan pembelajaran dan asesmen hanya
menekankan satu jenis proses kognitif saja, yaitu mengingat. Dimana proses
kognitif ini merupakan level terendah dari proses kognitif yang ada (Anderson
& Krathwohl, 2001). Dari titik ini disadari pentingnya interelasi yang kuat
antara rumusan tujuan, aktivitas dan asesmen pembelajaran demi terwujudnya
pembelajaran yang bermakna. Mempertegas kekompleksitasan tugas seorang guru
yang tidak hanya bertugas seorang sebagai pendidik dan pengajar namun juga
harus dapat menjadi seorang asesor yang baik. Keterampilan membuat perangkat
tes konsep yang sesuai dengan rumusan tujuan, aktivitas, dan asesmen
pembelajaran akan diikuti dengan keefektifitasan pengajaran guru (teacher’s instructional effectiveness).
Sumber:
- Anderson, W., L. Krathwohl (Editor), (2010). Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran,Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
- Rustaman, N. Y. (2009). Evaluation in Science Education (bahan ajar). Bandung: tidak diterbitkan, dipakai dalam lingkungan UPI.
- UCONN. (tanpa tahun). Why Assesment?. [Online]. Tersedia: http://www.assessment.uconn.edu/why/index.html (diakses pada tanggal 23 April 2014, pukul: 20.19 WIB).
- Utari, R. (2013). TAKSONOMI BLOOM: Apa dan Bagaimana Menggunakannya?. [Online]. Tersedia:http://www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/index.php?option=com_content&view=article&id=766%3Ataksonomi-bloom-apa-dan-bagaimana-menggunakannya&catid=116%3Aisi-artikel&Itemid=1 (diakses pada tanggal 23 April 2014, pukul: 20.53 WIB).
No comments:
Post a Comment